KERETAKAN HIDUP BERBANGSA DAN FORMALISME AGAMA
Latar Belakang Masalah
Antara tahun 1996-2002 kita menyaksikan di Indonesia berbagai konflik sosial yang terbuka di banyak wilayah. Rupanya benih konflik-konflik itu selama ini memang sudah ada, tetapi disembunyikan atau berhasil diredam (dengan paksa) di bawah karpet tebal bernama persatuan dan kesatuan. Pemicu konfli-konflik itu tentu saja beraneka ragam, tetapi sebagian besar menggunakan sentiment etnis dan agama.
Belakangan pula kita menyaksikan bagaimana kelompok-kelompok tertentu menggunakan agama sebagai alat legitimasi atas aksi-aksi kekerasan yang didasari oleh keyakinan akan kebenaran tunggal dan prinsip “meliyankan” (ini istilah Indonesia dari “the other”) pihak yang dianggap tidak sama dengan (ideologi) mereka.
Keretakan hidup berbangsa terjadi karena perekat bangsa mulai lemah atau kurang dihargai. Akibatnya, politik identitas marak di berbagai tempat dan menyentuh kehidupan berbangsa, khususnya kehidupan antar umat beragama. Keretakan tersebut membuat kita memerlukan dasar yang kuat untuk membangun kehidupan berbangsa. Dasar itu adalah Pancasila. Gereja ikut bertanggung jawab atas hancurnya sarana perekat bangsa tersebut. Karena itu, Gereja harus berdiri kembali, menegakkan pancasila melalui kerja sama dengan melibatkan orang muda dan komunitas basis.
Sejak 1 Januari 2001. Pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan Otonomi Daerah, OTDA, (berdasarkan UU no 22/1999) tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) untuk memberi kesempatan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan politik di tingkat lokal.
Polemik seputar halal-haram mengkonsumsi rokok di Indonesia kembali mengemuka. Kali ini, pengurus pusat muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa merokok adalah kegiatan haram bagi umat Islam. Fatwa yang tertanggal 7 Maret 2010 itu mulai disosialisasikan kepada publik sejak kemarin (9/3). Berbeda dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), fatwa haram yang dikeluarkan Muhammadiyah tanpa batasan umur tertentu.
“Prinsip fatwa haram ini adalah berangsur, memudahkan, dan tidak mempersulit. Kami tak ingin mengeluarkan sebuah fatwa haram tanpa solusi, “kata Ketua PP Muhammadiyah bidang Tarjih dan Kesehatan Yunahar Ilyas dalam konferensi pers di kantornya kemarin.
Keputusan yang dituangkan dalam fatwa No. 6/SM/MTT/III/2010 itu menggunakan pertimbangan dasar dalam Alquran dan hadis (Hukum Islam) serta pertimbangan sebab-akibat. Yunahar menjelaskan, secara ringkas merokok terbukti sebagai upaya menyakiti dan membahayakan diri sendiri secara perlahan. Merokok juga menimbulkan mudharat untuk orang lain serta termasuk tindakan pemborosan yang mubazir. “Dasar ketiga hal tersebut secara jelas tertuang dalam surat An-Nisa ayat 29 (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287 Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.]; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu), surat Al Baqarah ayat 195 (Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik), serta hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah, “papar dia. Ilyas mengatakan, saat ini Muhammadiyah sedang menyiapkan jalan keluar penyiapan tanaman alih fungsi bagi petani tembakau. Pihaknya juga akan menekan pemerintah untuk membatasi impor tembakau yang menyengsarakan petani kecil. Menurut dia, wacana pelarangan merokok akan menyengsarakan petani dan mempengaruhi ekonomi bisa terbantahkan. Faktanya, yang paling diuntungkan dari industry rokok adalah pemilik perusahaan dan bukan petani. “ kalau pemerintah bersikukuh rokok menuntungkan ekonomi bangsa, kenapa tidak sekalian saja industrikan narkoba, “ tegasnya.
Pemerintah juga didesak berani mengambil sikap tegas dalam ratifikasi Convention on Tobacco Control (FCTC). Hingga saat ini, Indonesia satu-satunya Negara yang belum meratifikasi FCTC. Ilyas optimistis fatwa itu dapat mengurangi angka perokok Indonesia. Muhammadiyah akan terus-menerus mengupayakan sosialisasi dan dialog kepada masyarakat serta instansi-instansi pemerintah. “jangankan fatwa, banyak hal yang terang-terangan dilarang Alquran saja masih banyak yang melanggar. Jadi, kita optimistis dan bekerja keras saja agar fatwa ini punya dampak signifikan bagi pengurangan angka perokok, “ tandasnya.(Zul/Oki).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar